Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI

Dr Henry Subiakto, dosen Etika dan Hukum Media, Program Pascasarjana Komunikasi, Universitas Airlangga, Surabaya mengharapkan, Undang Undang Penyiaran memberi kewenangan penuh dalam hal pengawasan dan pemberian sanksi hanya kepada Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI.

"Tegasnya, kita harus menghindari konflik kewenangan," tandasnya melalui ANTARA di Jakarta, Jumat.

Henry Subiakto kemudian mengingatkan, isi penyiaran itu menyeluruh, tidak hanya tayangan-tayangan program hiburan dan iklan, tetapi juga berita.

"Ini harus ditegaskan (dalam RUU Penyiaran), agar tidak ada atau bisa dihindari konflik kewenangan dengan Dewan Pers," katanya.

Ia juga menyorot tentang imparsialitas pemberitaan dalam penyiaran itu, mutlak menjadi kewenangan KPI, bukan Dewan Pers.

"Karena Undang Undang (UU) Penyiaran memang memberi kewenangannya hanya pada satu lembaga, yaitu KPI," ujarnya.

Dikatakannya, hal ini sama dengan di negara-negara lain, seperti di Amerika Serikat, yakni, FCC yang dulu harus menjaga `Fairness Doktrine`.

"Di Inggris, imparsialitas berita penyiaran ada pada `Office of Communication` (Ofcom) bukan `Press Complain Comission`," ungkapnya lagi.

Karena itu, menurutnya, lembaga penyiaran yang melanggar azas imparsialitas dalam `current issues`, kewenangan sanksinya mutlak ada di KPI, bukan pada institusi lain.

"Di situlah yang saya katakan tadi, bahwa KPI sebagai lembaga independen bertanggung jawab menjaga penggunaan ranah publik untuk kebaikan dan kenyamanan publik," tegasnya.

Bagi dia, martabat inilah yang harus dibangun dan kita harus fokus ke sana.

"Karenanya, saya selalu ingatkan, para komisionernya harus benar-benar independen dan profesional," kata Henry Subiyakto lagi. Demikian catatan online Recehan internet tentang Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI.