Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menghadapi perjuangan berat

Pemimpin Libya Muammar Khadafi dan pemimpin Bahrain Raja Hamad bin Isa Al Khalifa Menghadapi perjuangan berat untuk mempertahankan kekuasaannya. Laporan terbaru menyebutkan, puluhan pengunjuk rasa tewas di Libya, sedangkan tawaran perundingan Raja Bahrain ditolak oposisi. Gelombang unjuk rasa untuk menumbangkan rezim berkuasa di Timur Tengah dan Afrika Utara kini juga telah menjalar ke Djibouti di Afrika Tengah dan Kuwait. Rezim di seluruh kawasan itu kemarin menghadapi gelombang protes lebih besar.

Di Yaman, seorang pengunjuk rasa ditembak mati dan lima lainnya luka-luka dalam bentrokan antara kelompok pro dan antipemerintah di dekat Universitas Sanaa. Kematian pertama di ibu kota setelah demonstrasi yang berlangsung hampir sepekan itu terjadi ketika pendukung pemerintah dengan bersenjata senapan, tongkat, dan batu berusaha masuk ke kampus, bentrok dengan mahasiswa yang menggelar unjuk rasa antipemerintah.

Di Libya, pasukan keamanan menewaskan sedikitnya 35 orang di Benghazi pada Jumat (18/2) malam waktu setempat. Kelompok pembela hak asasi manusia (HAM) yang berbasis New York, Human Rights Watch (HRW), mengungkapkan, dalam unjuk rasa anti-Khadafi selama tiga hari, total korban tewas telah mencapai 84 orang. Sementara sumber Rumah Sakit Al Jalaa menyebutkan, sedikitnya 18 orang tewas dalam kekerasan di Benghazi selama Jumat itu. Menurut HRW, kematian di kota yang berjarak 1.000 km arah timur Tripoli itu terjadi karena pasukan keamanan menembaki orang yang menggelar unjuk rasa.

Hingga saat ini belum ada pengumuman resmi jumlah orang yang tewas. “Kami meminta semua dokter di Benghazi agar datang ke rumah sakit dan semua orang agar mendonorkan darahnya karena saya tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya,” ujar seorang pejabat senior rumah sakit yang dikutip HRW. Mengutip wawancara telepon dengan saksi dan staf rumah sakit, HRW menuturkan, pasukan keamanan menembaki para pengunjuk rasa dengan peluru aktif.

“Pasukan keamanan Muammar Khadafi menembaki warga Libya dan menewaskan beberapa di antara mereka karena menuntut perubahan dan akuntabilitas,” ujar Deputi Direktur HRW Cabang Timur Tengah dan Afrika Utara Joe Stork. Pada Jumat (18/2), rezim Khadafi bertekad menghadapi semua tantangan.Pemerintah negara itu menandaskan,respons mereka terhadap “petualang” apa pun akan tajam dan keras.

“Pasukan keamanan yang punya aliansi yang sangat kuat dengan Khadafi masih berjuang keras mengambil alih kendali,” papar warga Benghazi yang diidenti-fi-kasikan sebagai Mohammed oleh BBC. Kepada AFP, seorang pejabat Tripoli memaparkan, Jaksa Agung Libya Abdelrahman Al Abbar telah memerintahkan penyelidikan kekerasan yang difokuskan di timur negara itu.“Jaksa telah meminta prosedur untuk dipercepat guna menyeret semua yang bersalah atas kematian atau penjarahan itu ke meja hijau,”ujar sumber itu. Khadafi telah berkuasa di negara Afrika Utara—yang berada di antara Tunisia dan Mesir—selama 41 tahun atau sejak 1969.Dia adalah pemimpin yang masih menjabat terlama di dunia Arab.

Namun, meski menghadapi protes kelompok antipemerintah, analis memaparkan, ada perbedaan antara Libya dan Mesir yang menyebabkan Khadafi sulit dijungkalkan. Pria yang saat ini berusia 68 tahun itu memiliki minyak untuk menyelesaikan masalah sosial. Ayah sembilan anak itu juga sangat dihormati di negaranya, kecuali di kawasan Cyrenaica, sekitar Benghazi. “Jelasnya, tidak ada pemberontakan nasional,” ujar Noman Benotman, mantan oposisi Libya yang berbasis di Inggris, tapi saat ini berada di Tripoli. “Saya kira Libya tidak bisa dibandingkan dengan Mesir atau Tunisia. Khadafi akan melawan hingga titik terakhir.” Di Bahrain,polisi kemarin menembakkan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa yang berusaha kembali ke Lapangan Pearl di Manama begitu militer menarik tank-tanknya.

Namun, usaha itu sia-sia karena pengunjuk rasa akhirnya berhasil kembali ke lokasi itu. Penarikan militer itu dilakukan atas perintah Putra Mahkota Salman bin Hamad Al Khalifa. Polisi setidaknya menangkap tiga orang dalam insiden tersebut. Kemarin, serikat pekerja utama di Bahrain, Serikat Umum Pekerja Bahrain, telah menyerukan aksi mogok massal mulai besok. “Serikat dagang Gulf Air memberi tahu anggotanya bahwa Serikat Umum Pekerja Bahrain menyerukan mogok massal mulai 20 Februari,” ujar seorang staf Gulf Air kepada Reuters. Situasi di Bahrain makin tak menentu setelah oposisi menolak tawaran Salman untuk berdialog. Mereka menandaskan hanya akan berdialog setelah tentara ditarik dari jalanan dan pemerintah dibubarkan.

Jumat (18/2), Raja Hamad mengumumkan telah menugaskan putranya untuk memulai dialog. Dalam wawancara televisi,Pangeran Salman menuturkan, dialog harus digelar dalam ketenangan. “Yang terjadi di Bahrain saat ini tidak bisa diterima,” papar Salman. “Kami telah mencapai tahap berbahaya dengan kesadaran bahwa masing-masing dari kita mengakui bertanggung jawab. Bahrain telah terpecah saat ini.” Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton menuturkan, penting bahwa dialog yang dijanjikan itu harus dimulai dan mengkhawatirkan kekerasan terhadap pengunjuk rasa. “Saya minta otoritas Bahrain menghormati hak asasi manusia dasar termasuk kebebasan berekspresi dan hak berkumpul secara bebas,” papar Ashton.

Di Aljazair,menentang seruan pemerintah, sekitar 200 warga menggelar reli di Lapangan 1 Mei. Sebagaimana demonstrasi sepekan lalu,ketika 2.000 demonstran dihadapi 30.000 polisi antihuru hara di tempat yang sama, polisi dengan senjata tongkat, tameng, dan kendaraan bersenjata bersiaga dalam posisi siap di seluruh pusat Algiers menjelang demonstrasi itu. Seluruh jalan menuju Lapangan 1 Mei diblokade dan barikade logam didirikan untuk mencegah para demonstran memasuki lapangan itu. Namun, beberapa pengunjuk rasa berhasil masuk ke lapangan dan meneriakkan, ”Aljazair bebas dan demokratik,”dan “Rakyat ingin rezim ini jatuh. Demikian catatan online Recehan internet tentang Menghadapi perjuangan berat.